Julaibib..
Apa yang terlintas ketika mendengar nama ini?
Namanya Julaibib, begitulah dia biasa dipanggil. Nama ini sendiri
mungkin sudah menunjukkan ciri fisiknya yang kerdil pendek, wajahnya
(maaf) jelek, berkulit hitam ia adalah seorang yatim piatu, begitu
sejarah menggambarkannya. tampilan fisiknya wajahnya terkesan sangar,
pendek, bunguk, hitam, dan fakir, kainnya usang, pakaiannya lusuh,
kakinya pecah-pecah tidak beralas. Tidak ada rumah untuk berteduh, tidur
hanya berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tidak ada
perabotan, minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan
telapak tangan. Abu Barzah, pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata
tentang Julaibib, “Jangan pernah biarkan Julaibib masuk diantara kalian!
Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang
mengerikan padanya!” demikianlah keadaan Julaibib pada saat itu. Namun
ia adalah sahabat Rasulullah dari golongan Anshar dia selalu berada di
shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap
memperlakukannya seolah ia tiada, tidak begitu dengan Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wasallam sang rahmat bagi semesta alam, Karena
itulah di belakang namanya ada tambahan al-Anshari, Julaibib al-Anshari.
Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh
Sang Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam,
“Julaibib…”, begitu lembut beliau memanggil,
“Apakah kamu mau menikah?” tanya Rasulullah SAW kepadanya suatu saat.
“Aku
tidak punya apa-apa wahai Rasulullah. Bagaimana mungkin bisa menikah ?”
jawabnya dengan penuh santun dan ta’dzim kepada nabi.
“Siapakah
orangnya Ya Rasulallah Shollallahu ‘alaihi wasallam”, kata Julaibib,
“yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”Julaibib menjawab
dengan tetap tersenyum. Tidak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan
takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wasallam juga tersenyum. Mungkin memang tidak ada orang tua yang
berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan
Julaibib, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam menanyakan hal yang
sama.Tiba-tiba lewat salah seorang sahabat Anshar yang lainnya.
Rasulullah pun segera memanggilnya dan bertanya kepadanya,
“Apakah kamu hendak menikahkan putrimu?”
“Siapakah yang tidak mau menikahkan putrinya dengan orang semulia engkau wahai Rasulullah?” jawabnya dengan senang hati.
“Bukan untukku. Tapi untuk Julaibib.”
Lelaki Anshar itu terkejut. Wajah bungah dan sumringah lalu tiba-tiba berubah padam. Nampak raut kekecewaan.
“Sebentar Rasulullah, aku akan membicarakannya terlebih dulu dengan istriku.”
“Julaibib,
orang biasa itu? Bagaimana mungkin kita menikahkan putri kita dengan
orang seperti itu, padahal kita sudah beberapa kali menolak lamaran
orang-orang yang memiliki harta dan nasab lebih mulia darinya!” tanggap
istrinya. Ternyata anak perempuannya yang dimaksud itu sedang
mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya, bahwasanya Rasulullah telah
melamarnya untuk Julaibib. Melihat reaksi kedua orang tuanya yang tidak
setuju, tiba-tiba ia keluar menemui mereka, lalu membaca firman Allah :
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al Ahzab 36)"
Lantas anak perempuan itu melanjutkan,
“Aku
ridha dan aku menerima apa yang telah Rasulullah ridhai dan pilihkan
untukku.” Subhanallah! ini adalah keputusan besar, yang hanya akan
diambil oleh orang-orang yang berjiwa besar dan berorientasi surga.
Rasulullah pun lantas mendoakannya,
“Ya Allah, curahkanlah segala
kebaikan kepadanya, dan jangan Engkau jadikan urusan hidupnya sulit.”
Setelah itu Julaibib menikah dengan wanita pilihan Rasulultah itu, maka
mereka berubah menjadi orang golongan Anshar.
Julaibib, orang yang
dulunya sangat tidak berada. Dirinya tak pernah mengira akan
mendapatkan wanita jelita sekaligus dikaruniai Allah limpahan harta. Di
tengah-tengah menikmati itu semua, hidup bersama anak-anak yang lucu dan
istrinya yang tercinta, juga berada dalam limpahan kecukupan kebutuhan
dunia, setelah sebelumnya tidak punya apa-apa, tiba-tiba datanglah
seruan, panggilan jihad dari Rasulullah SAW.
Mungkin hati bisa
menjadi bimbang, lantaran harus memilih salah satu dari keduanya.
Menikmati sisa kehidupan bersama keluarganya, atau ikut berjihad bersama
Rasulullah. Sama-sama berat untuk ditinggalkan. Sama-sama disuka oleh
jiwa. Sama-sama diminati oleh hati. Namun bagaimanapun juga, mau tidak
mau, dirinya harus memilih salah satu dari keduanya Jihad atau
bersenang-senang dengan harta dan keluarga ?
Panggilan Rasulullah pun lebih ia utamakan. Berperang di jalan Allah, untuk membela Islam. Itulah pilihannya ketika itu.
Dari
Abu Barzah al-Aslami, bahwasanya Rasulullah SAW berkata pada sahabat
setelah peperangan selesai, “Apakah kalian kehilangan teman kalian?”
“Demi Allah ! Aku kehilangan temanku si fulan !” jawab salah seorang sahabat.
“Aku juga kehilangan sahabatku Fulan!” sahut yang lainnya.
“Aku
juga! Aku juga! Aku juga!” mereka semua saling bersahut-sahutan
menyebutkan teman-teman mereka masing-masing yang meninggal dalam
pertempuran yang baru saja usai. Julaibib tidak berada dalam barisan
orang-orang yang sedang berkumpul itu. Namun tak seorangpun yang merasa
kehilangan sosok Julaibib. kemudian Rasulullah bertanya kembali
"Apakah
kalian kehilangan teman kalian?". Para sahabat pun sibuk mencari siapa
saja sahabat yang tidak berada dalam barisan, kemudian salah satu di
antara mereka menjawab
"Tidak Ya Rasulullah" Rasulullah menanyakan itu sekali lagi, dan jawaban sahabatpun sama. kemudian Rasulullah berkata
“Tetapi
aku kehilangan Julaibib.” kata Rasulullah sedih. Semua sahabat pun
tertegun, lantas mereka mencari-cari dimana jasad Julaibib berada. Sosok
Julaibib itu terbaring tak bernyawa dengan lumuran darah, wajahnya
penuh dengan luka pedang dan ia berada di tengah-tengah tujuh jasad
musuh-musuhnya. Ya seorang Julaibib telah membunuh ke tujuh musuh yang
jasad-jasadnya tergeletak di sekelilingnya, baru setelah itu dirinya
terbunuh sebagai syuhada’.
Setelah Rasulullah diberi tahu tentangnya, beliaupun segera menghampirinya dan berkata,
“Dia
telah membunuh tujuh orang lawannya, lalu dia terbunuh". Para sahabat
pun tertunduk menyesal mendengar apa yang di katakan oleh Rasulullah.
Rasulullah pun lalu mengkafani dan menyolati Julaibib kemudian Rasul
berkata yang membuat para sahabat untuk pertama dan terakhir kalinya iri
pada Julaibib
"la adalah bagian dariku, dan aku bagian darinya.” Rasulullah mengulangi kata-katanya itu sebanyak tiga kali.
Julaibib,
sosok sederhana namun memiliki tempat yang khusus di hati Rasulullah
SAW. Sosok yang apa adanya, polos, tidak memburu ketenaran. Hidupnya
mengalir begitu saja tanpa melawan takdir Allah SWT. Ketika dua
kenikmatan, antara kenikmatan dunia dan kenikmatan menemani Rasulullah
SAW dalam berjihad untuk meraih gelar syuhada’ dihadapkan kepadanya, ia
lebih memilih kenikmatan yang kedua. Meskipun jiwa yang dipertaruhkan
untuk meraihnya.
Gemerlap dunia yang sudah berada dalam genggaman
tangannya tak merubah orientasi hidupnya yang agung, yaitu berbekal
untuk kebahagiaan di kampung akhirat. Julaibib yang sekarang masih
seperti Julaibib yang dulu.
Dulu ketika belum menikah, masih
fakir, keberadaannya dalam majelis adalah sama dengan kealpaannya di
mata orang-orang. la ada dan ia alpa adalah sama saja. Jika alpa tak ada
yang mencari. Dan ketika harta sudah dipunya pun juga masih sama
seperti dulu. Dirinya meninggal di medan pertempuran tak ada orang yang
menanyakan keadaannya, tak ada yang merasa kehilangan dirinya. Namun
kalimat yang terucap dari lisan Rasulullah SAW tentang dirinya, ketika
jiwanya sudah tak lagi menyatu dengan raga itu sudah cukup mewakili
segalanya. Kalimat Rasulullah SAW itu adalah bukti bahwa Julaibib memang
bukanlah orang sembarangan. la adalah orang luar biasa, meski
tampilannya sederhana. “la Bagian Dariku…dan Aku Bagian Darinya…”
Dari cerita diatas bisa kita ambil Ibrohnya
bahwa Di jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik
ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan
benci. Karena hikmah sejati tidak selalu terungkap di awal pagi. Karena
seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat. Tapi yakinlah, di jalan
cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Dan Dialah yang akan
menyutradarai pentas kepahlawanan para aktor ketaatan. Dan semua akan
berakhir seindah surga. Surga yang telah dijanjikanNya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar